Tuesday, June 18, 2013

  1. Pengertian Umum Kredit
            Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
            Sampai saat ini pendapatan bunga sebagai hasil dari pemberian kredit, masih merupakan kontribusi terbesar pada pendapatan bank secara keseluruhan, baik bank-bank di Indonesia maupun kebanyakan bank-bank di dunia. Berdasarkan statistik Bank Indonesia bulan Juni 1992, 80% dari total aset perbankan Indonesia adalah berupa kredit yang disalurkan baik kepada sektor perdagangan maupun industri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyaluran kredit merupakan kegiatan utama suatu bank. Di lain pihak, penyaluran kredit mengandung resiko bisnis terbesar dalam dunia perbankan. Oleh karena itu, pengelolaan kredit merupakan kegiatan yang sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap bank.
            Dalam tulisan ini kami akan menguraikan secara ringkas tentang kredit bermasalah, khususnya kredit macet, mulai dari pengertian, indikasi kredit macet, bagaimana mengantisipasi sampai pada cara-cara penanganan dan penyelesaiannya.

  1. Pengertian Kredit Macet
            Dalam paket kebijakan deregulasi bulan Mei tahun 1993 (PAKMEI 1993), di Indonesia dikenal dua golongan kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di mana kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Kredit macet inilah yang sangat dikhawatirkan oleh setiap bank, karena akan mengganggu kondisi keuangan bank, bahkan dapat mengakibatkan berhentinya kegiatan usaha bank.
            Kredit macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur. (Siamat, 1993, hal: 220).
Suatu kredit digolongkan ke dalam kredit macet bilamana: (Sutojo, 1997, hal: 331)
·         Tidak dapat memenuhi kriteria kredit lancar, kredit kurang lancar dan diragukan
·         Dapat memenuhi kriteria kredit diragukan, tetapi setelah jangka waktu 21 bulan semenjak masa penggolongan kredit diragukan, belum terjadi pelunasan pinjaman, atau usaha penyelamatan kredit; atau
·         Penyelesaian pembayaran kembali kredit yang bersangkutan, telah diserahkan kepada pengadilan negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), atau telah diajukan permintaan ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit
            Sejak krisis keuangan yang berlanjut dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, penyelesaian kredit macet bank-bank di Indonesia ditangani oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
            Berkaitan dengan kasus kredit macet di Indonesia Menko Ekuin, Kwik Kian Gie mengatakan bahwa sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai Rp 600 trilyun (InfoBank, Edisi Nomor 245, Januari 2000, hal:14). Menurut hemat kami hal ini tampaknya lebih disebabkan karena faktor kesengajaan. Betapa tidak, sebagian besar dana kredit yang dimiliki bank disalurkan kepada debitur kelompok usahanya sendiri, yang disebut perusahaan terafiliasi. Dimana dalam penyalurannya kurang atau mungkin tidak didasarkan pada studi kelayakan (feasibility study), dan bahkan besarnya kredit yang mereka ajukan jumlahnya telah di ‘mark up’ terlebih dahulu. Sebagai contoh adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN), yang masing-masing secara berurutan menyalurkan 90,7% dan 78,4% (Kwik Kian Gie, 1999, hal: 124) untuk kepentingan kelompok usahanya sendiri.
  1. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kredit Bermasalah/Macet
            Munculnya kredit bermasalah termasuk di dalamnya kredit macet, pada dasarnya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses. Terjadinya kredit macet dapat disebabkan baik oleh pihak kreditur (bank) maupun debitur. Faktor-faktor penyebab yang merupakan kesalahan pihak kreditur adalah:
1.      Keteledoran bank mematuhi peraturan pemberian kredit yang telah digariskan;
2.      Terlalu mudah memberikan kredit, yang disebabkan karena tidak ada patokan yang jelas tentang standar kelayakan permintaan kredit yang diajukan;
3.      Konsentrasi dana kredit pada sekelompok debitur atau sektor usaha yang beresiko tinggi;
4.      Kurang memadainya jumlah eksekutif dan staf bagian kredit yang berpengalaman;
5.      Lemahnya bimbingan dan pengawasan pimpinan kepada para eksekutif dan staf bagian kredit;
6.      Jumlah pemberian kredit yang melampaui batas kemampuan bank;
7.      Lemahnya kemampuan bank mendeteksi kemungkinan timbulnya kredit bermasalah, termasuk mendeteksi arah perkembangan arus kas (cash flow) debitur lama;
            Tidak mampu bersaing, sehingga terpaksa menerima debitur yang kurang bermutu. (Sutojo, 1999, hal: 216)
            Sedang faktor-faktor penyebab kredit macet yang diakibatkan karena kesalahan pihak debitur antara lain:
            Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan, yang disebabkan merosotnya kondisi ekonomi umum dan/atau bidang usaha dimana mereka beroperasi;
1.      Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang mereka tangani;
2.      Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa orang anggota keluarga debitur;
3.      Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang lain;
4.      Kesulitan likuiditas keuangan yang serius;
5.      Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan bencana alam;
6.      Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah merencanakan tidak akan mengembalikan kredit). (Sutojo, 1999, hal: 334)

  1. Indikasi Kredit Macet
            Untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet sedini mungkin, dapat dilakukan dengan memperhatikan gejala-gejala sebagai berikut: (Siamat, 1993, hal: 220-221)
            Terjadinya penundaan yang tidak normal dalam penerimaan laporan keuangan, pemayaran cicilan atau dokumen lainnya;
            Adanya penyelidikan yang tidak terduga dari lembaga-lembaga keuangan lainnya mengenai nasabah tersebut;
a.       Keluarnya anggota eksekutif perusahaan;
b.      Terjadi perubahan kegiatan usaha misalnya masuknya pesaing baru atau produk baru yang sejenis;
c.       Meningkatnya penggunaan fasilitas overdraft;
d.      Perusahaan nasabah mengalami kekacauan;
e.       Ditemukannya kegiatan ilegal atas usaha nasabah;
f.       Permintaan tambahan kredit;
g.      Permohonan perpanjangan atau penjadwalan kembali kredit;
h.      Usaha nasabah yang terlalu ekspansif;
            Kreditur lain melakukan proteksi atas kredit yang diberikan dengan meminta tambahan jaminan atau melakukan pengikatan notaris atas barang jaminan.
            Dengan mencermati gejala-gejala terjadinya kredit macet tersebut, maka bukanlah sesuatu yang mustahil untuk mencegah terjadinya kredit macet, atau paling tidak dapat mengurangi/menekan sekecil mungkin kasus-kasus kredit macet yang ada.

  1. Mengurangi atau Mencegah Kemungkinan Terjadinya Kredit Macet
            Setiap penyaluran kredit oleh bank tentu mengandung resiko, karena adanya keterbatasan kemampuan manusia dalam memprediksi masa yang akan datang. Apalagi dalam situasi dan kondisi ‘lingkungan’ yang cepat berubah dan penuh ketidakpastian seperti sekarang ini. Beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh bank dalam menekan atau mengurangi seminimal mungkin resiko pemberian kreditnya, adalah:
Ø  Penilaian/Analisis terhadap Permohonan Kredit
            Setiap permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur, tentu harus dilakukan penilaian secara seksama oleh pejabat bank. Terlebih lagi untuk pemberian kredit jangka panjang, seperti kredit investasi misalnya. Mengingat semakin lama jangka waktu kredit, maka semakin tinggi faktor ketidakpastiannya, sehingga semakin besar pula resiko yang dihadapi bank.
            Dalam penilaian kredit, ada prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yaitu prinsip 5 C + 1C, yang meliputi:
1.      Character
            Character atau watak debitur sangat menentukan kemauan untuk membayar kembali kredit yang telah diterimanya. Namun demikian, untuk mengetahui character seseorang itu tidak mudah. Oleh karena itu, penilaian atas character debitur perlu dilakukan secara hati-hati dan secermat mungkin. Informasi dari keluarga dan teman-teman dekat dari debitur, serta informasi dari bank pemberi kredit sebelumnya adalah sangat penting.
            Untuk mengetahui dan memperoleh gambaran yang jelas tentang watak calon debitur ini, dapat dilakukan usaha-usaha seperti: melakukan interview langsung terhadap calon debitur; meneliti daftar riwayat hidupnya, mengetahui reputasi calon debitur berdasarkan informasi dari ‘lingkungan’ usahanya, serta meneliti kegiatan dan pengalaman-pengalaman usahanya.
2.      Capacity
            Capacity mengandung arti kemampuan calon debitur dalam mengelola usahanya. Dengan demikian, capacity berkaitan erat dengan kemampuan calon debitur dalam melunasi kreditnya. Unsur-unsur yang dinilai untuk mengetahui kemampuan calon debitur antara lain meliputi penilaian terhadap:
·         proyeksi arus kas
·         proyeksi laporan keuangan
·         pusat informasi kredit
·         kemampuan manajemen
·         kemampuan pemasaran
·         kemampuan teknis
·         kewajiban-kewajiban pada pihak lainnya

3.      Capital
            Informasi mengenai besar kecilnya modal (capital) perusahaan calon debitur adalah sangat penting bagi bank. Modal yang dimaksudkan disini adalah modal sendiri (networth) atau nilai kekayaan bersih yang dimiliki perusahaan, yang merupakan selisih antara total aktiva dengan total kewajiban (utang). Semakin besar modal yang dimiliki perusahaan merupakan cerminan keberhasilan perusahaan di masa lalu, dan ini tentunya semakin baik dihadapan bank. Mengingat kredit bank hanya merupakan pelengkap atau tambahan bagi pembiayaan kegiatan operasional perusahaan. Posisi modal suatu perusahaan dapat dianalisis dari laporan keuangannya. Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap tentang modal perusahaan, maka bank harus melakukan analisis terhadap laporan keuangan perusahaan selama paling tidak tiga tahun periode akuntansi sebelumnya.

4.      Collateral
            Collateral (jaminan kredit) merupakan setiap aktiva atau barang-barang yang diserahkan debitur sebagai jaminan atas kredit yang diperoleh dari bank. Manfaat jaminan ini bagi bank adalah sangat penting, sebagai ‘back up’ atas kredit yang diberikan kepada debitur. Tujuannya adalah agar bank dapat memperoleh pelunasan kembali atas kredit yang diberikan kepada debitur, apabila kelak debitur tidak mampu melunasi kreditnya atau pun ingkar janji (wan prestasi). Atas jaminan yang diberikan oleh debitur, maka perlu diperhatikan cara pengikatannya sesuai dengan hukum yang berlaku, untuk menghindari sengketa yang kemungkinan muncul di kemudian hari.
5.      Conditions
            Yang dimaksud conditions disini adalah keadaan perekonomian secara umum dimana perusahaan tersebut beroperasi. Kondisi perekonomian sangat menentukan keberhasilan maupun kegagalan suatu perusahaan. Oleh karena itu, bank atau dalam hal ini analis kredit, harus mempertimbangkan keadaan perekonomian, dan proyeksi perekonomian selama jangka waktu kredit yang diberikan.
6.      Constraint
            Dalam pemberian kredit, bank perlu juga mengetahui dan mempertimbangkan hambatan (constraint) yang mungkin muncul di lapangan. Bank perlu mengetahui tanggapan masyarakat setempat terhadap rencana investasi yang akan dilakukan oleh calon debiturnya, karena bisa saja masyarakat setempat menolak rencana investasi tersebut. Sebagai contoh seorang debitur mengajukan kredit untuk membangun sebuah peternakan babi misalnya. Nah, pihak bank perlu mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat setempat, apakah menerima atau menolak kehadiran peternakan tersebut.

Ø Pemantauan Penggunaan Kredit
            Setelah bank memutuskan untuk memberikan kredit kepada debiturnya, bukan berarti bahwa tugas bank sebagai perantara keuangan selesai sampai di situ, melainkan itulah awal mula tugas bank yang sesungguhnya dalam penyaluran kredit. Bank senantiasa harus memantau kredit yang telah disalurkannya. Apakah debitur benar-benar menggunakan kreditnya sesuai dengan permohonan semula, atau digunakan untuk keperluan lain? Bagaimana perkembangan dan prospek usaha debitur? Bagaimana keadaan perekonomian nasional secara keseluruhan, kondusif atau tidak bagi perkembangan usaha debitur? Dan pertanyaan-pertanyaan lain berkaitan dengan prospek kredit yang telah disalurkan oleh bank. Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab, dalam rangka mengantisipasi kemungkinan tersendat atau macetnya kredit yang telah disalurkan bank.

Ø  Jaminan Kredit
            Jaminan kredit (collateral) atau agunan sebenarnya tidaklah mutlak sifatnya, tetapi perlu, guna mengantisipasi kemungkinan tidak tertagihnya kredit yang disalurkan bank. Di samping status dan kondisi jaminan, yang tidak kalah penting untuk diperhatikan oleh bank adalah dalam cara pengikatannya. Pengikatan jaminan kredit ini harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini berkaitan dengan eksekusi jaminan, apabila kelak debitur ingkar janji (wan prestasi) atau tidak mampu melunasi kreditnya.

  1. Cara Penyelesaian Kredit Macet
            Untuk menyelesaikan dan menyelamatkan kredit yang dikategorikan macet, dapat ditempuh usaha-usaha sebagai berikut: (Siamat, 1993, hal 222-223)
ü  Rescheduling (Penjadwalan Ulang)
            Yaitu perubahan syarat kredit hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang (grace period) dan perubahan besarnya angsuran kredit. Tentu tidak kepada semua debitur dapat diberikan kebijakan ini oleh bank, melainkan hanya kepada debitur yang menunjukkan itikad dan karakter yang jujur dan memiliki kemauan untuk membayar atau melunasi kredit (willingness to pay). Di samping itu, usaha debitur juga tidak memerlukan tambahan dana atau likuiditas.
ü  Reconditioning (Persyaratan Ulang)
            Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, tingkat suku bunga, penundaan pembayaran sebagian atau seluruh bunga dan persyaratan lainnya. Perubahan syarat kredit tersebut tidak termasuk penambahan dana atau injeksi dan konversi sebagian atau seluruh kredit menjadi ‘equity’ perusahaan. Debitur yang bersifat jujur, terbuka dan ‘cooperative’ yang usahanya sedang mengalami kesulitan keuangan dan diperkirakan masih dapat beroperasi dengan menguntungkan, kreditnya dapat dipertimbangkan untuk dilakukan persyaratan ulang.
ü  Restructuring (Penataan Ulang)
            Yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut:
ü  Penambahan dana bank
ü  Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan atau
ü  Konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan bank atau mengambil partner yang lain untuk menambah penyertaan.


ü  Liquidation (Liquidasi)
            Yaitu penjualan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka pelunasan utang. Pelaksanaan likuidasi ini dilakukan terhadap kategori kredit yang memang benar-benar menurut bank sudah tidak dapat lagi dibantu untuk disehatkan kembali atau usaha nasabah yang sudah tidak memiliki prospek untuk dikembangkan. Proses likuidasi ini dapat dilakukan dengan menyerahkan penjualan barang tersebut kepada nasabah yang bersangkutan. Sedang bagi bank-bank umum milik negara, proses penjualan barang jaminan dan aset bank dapat diserahkan kepada BPPN, untuk selanjutnya dilakukan eksekusi atau pelelangan.


Sunday, June 16, 2013

Anggaran Bahan Mentah

Sebagai kelanjutan dari anggaran produksi yang telah dibahas terdahulu, pada bab ini akan dibahas hal-hal yang menyangkut penyusunan anggaran bahan mentah.
            Anggaran bahan mentah yang dibahas pada bagian ini, hanya menyangkut perencanaan kebutuhan dan penggunaan bahan mentah langsung atau yang merupakan bagian dari barang jadi yang dihasilkan. Bahan mentah tak langsung akan direncanakan dalam anggaran biaya overhead pabrik.
Secara ringkas tujuan penyusunan anggaran bahan mentah dapat dikatakan sebagai berikut :
a.       Memperkirakan jumlah kebutuhan bahan mentah
b.      Memperkirakan jumlah pembelian bahan mentah yang dipergunakan
c.       Sebagai dasar untuk memperkirakan kebutuhan dana yang diperlukan untuk melaksanakan pembelian bahan mentah
d.      Sebagai dasar penyusunan product costing
e.       Sebagai dasar melaksanakan fungsi pengawasan bahan mentah

Anggaran bahan mentah terdiri dari:

1. Anggaran Kebutuhan Bahan Mentah
            Anggaran ini disusun sebagai perencanaan jumlah bahan mentah yang dibutuhkan untuk keperluan produksi pada periode mendatang. Kebutuhan bahan mentah diperinci menurut jenisnya, menurut macam barang jadi yang akan dihasilkan, serta menurut bagian-bagian dalam pabrik yang menggunakan bahan mentah tersebut.

2. Anggaran Pembelian Bahan Mentah
            Anggaran ini disusun sebagai perencanaan jumlah bahan mentah yang harus dibeli pada periode mendatang. Bahan mentah yang harus dibeli diperhitungkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor persediaan dan kebutuhan bahan mentah.

3. Anggaran Persediaan Bahan Mentah
            Jumlah bahan mentah yang dibeli tidak harus sama dengan jumlah bahan mentah yang dibutuhkan, karena adanya faktor persediaan. Anggaran ini merupakan suatu perencanaan yang terperinci atas kuantitas bahan mentah yang disimpan sebagai persediaan.

4. Anggaran Biaya Bahan Mentah yang Habis Digunakan dalam Produksi
            Sebagian bahan mentah disimpan sebagai persediaan, dan sebagian dipergunakan dalam proses produksi, anggaran ini merencanakan nilai bahan mentah yang digunakan dalam satuan uang.



       I.            ANGGARAN KEBUTUHAN BAHAN MENTAH

            Telah diterangkan bahwa bahan mentah yang dipakai dalam proses produksi dikelompokkan menjadi bahan mentah langsung dan tak langsung. Anggaran kebutuhan bahan mentah disusun untuk merencanakan jumlah fisik bahan mentah langsung yang diperlukan, bukan nilainya dalam rupiah. Secara terperinci pada anggaran ini harus dicantumkan:
  • Jenis barang jadi yang dihasilkan.
  • Jenis bahan mentah yang digunakan.
  • Bagian-bagian yang dilalui dalam proses produksi.
  • Standar penggunaan bahan mentah.
  • Waktu penggunaan bahan mentah.
Menentukan Kebutuhan Bahan Mentah
Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan untuk proses produksi dalam satu periode waktu tertentu dapat ditentukan dengan berbagai cara, yakni :
1.      Perkiraan langsung
Cara ini mengandung banyak resiko, antara lain berupa terlalu besar atau terlalu kecilnya perkiraan. Karena itu cara ini lebih baik diserahkan pada pihak-pihak yang telah berpengalaman dalam memproduksi barang yang sama pada waktu-waktu sebelumnya. Bagi mereka cara ini lebih menguntungkan karena :
·         Lebih mudah
·         Lebih cepat
·         Lebih ringan biayanya
2.      Berdasarkan perhitungan standart penggunaan bahan
Standart penggunaan dihitung dengan berbagai cara, seperti : dengan melakukan percobaan-percobaan di laboratorium dan melakukan percobaan khusus didalam pabrik, dengan mendasarkan diri pada pemakaian nyata waktu yang lalu tercatat pada bill of material, dan dengan melihat angka penggunaan rata-rata yang ditentukan secara statis.




     II.            ANGGARAN PEMBELIAN BAHAN MENTAH

            Anggaran pembelian bahan mentah berisi rencana kuantitas bahan mentah yang harus dibeli oleh perusahaan dalam periode waktu mendatang. Ini harus dilakukan secara hati-hati terutama dalam jumlah dan waktu pembelian. Apabila jumlah bahan mentah yang dibeli terlalu besar akan mengakibatkan berbagai risiko seperti : bertumpuknya bahan mentah di gudang, yang mungkin mengakibatkan penurunan kualitas, terlalu lamanya bahan mentah menunggu giliran diproses, atau biaya penyimpangan yang menjadi lebih besar. Apabila jumlah bahan mentah yang dibeli terlalu kecil; juga akan mendatangkan risiko berupa terhambatnya kelancaran proses produksi akibat kehabisan bahan mentah, serta timbulnya biaya tambahan untuk mencari bahan mentah pengganti secepatnya.

JUMLAH PEMBELIAN YANG PALING EKONOMIS
(Economical Order Quantity/EOQ)

            Hal yang perlu selalu dipikirkan oleh perusahaan selain besarnya kebutuhan juga besarnya (jumlah) bahan mentah setiap kali dilakukan pembelian, yang menimbulkan biaya paling rendah tetapi tidak mengakibatkan kekurangan bahan mentah. Jumlah pembelian yang paling ekonomis ini disebut sebagai Economical Order Quantity (EOQ). Menghitung EOQ dipertimbangkan dua jenis biaya yang bersifat variabel, yaitu:

a.      Biaya Pemesanan

            Biaya pemesanan yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan kegiatan pemesanan bahan mentah. Biaya ini berubah-ubah sesuai dengan frekuensi pemesanan, semakin tinggi frekuensi pemesanannya semakin tinggi pula biaya pemesanannya. Sebaliknya biaya ini berbanding terbalik dengan jumlah (kuantitas) bahan mentah setiap kali pemesanan. Hal ini disebabkan karena semakin besarnya jumlah setiap kali pemesanan dilakukan, berarti frekuensi pemesanan menjadi semakin rendah.
Seperti:
  • biaya-biaya persiapan pemesanan;
  • biaya administrasi;
  • biaya pengiriman pesanan;
  • biaya mencocokkan pesanan yang masuk;
  • biaya mempersiapkan order pembayaran.

b.    Biaya Penyimpanan

            Biaya penyimpanan yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan kegiatan penyimpanan bahan mentah yang telah dibeli. Biaya ini berubah-ubah sesuai dengan jumlah bahan mentah yang disimpan. Semakin besar jumlah bahan mentah setiap kali pemesanan maka biaya penyimpanan akan semakin besar pula. Jelaslah bahwa biaya penyimpanan mempunyai sifat yang berlawanan dengan biaya pemesanan.
Seperti:
  • biaya pemeliharaan;
  • biaya asuransiadministrasi;
  • biaya perbaikan kerusakan.
Dengan memperhatikan kedua jenis biaya di atas, maka jumlah pembelian yang paling ekonomis dapat dihitung dengan rumus:
 
Dimana :
R = jumlah bahan mentah yang akan dibeli dalam suatu jangka waktu tertentu.
S = biaya pemesanan.
P = harga per unit bahan mentah.
I = biaya penyimpanan yang dinyatakan dalam prosentase dari
persediaan rata-rata.

Waktu pembelian bahan mentah

Untuk menjaga kelancaran proses produksi tidak cukup hanya ditentukan jumlah bahan mentah yang dibeli. Harus ditentukan pula kapan pemesanan bahan mentah, hal ini harus dilakukan agar bahan mentah itu dapat datang tepat pada waktu dibutuhkan. Bahan mentah yang datang terlambat dapat mengakibatkan terganggunya kelancaran proses produksi, sebaliknya bahan mentah yang datang terlalu awal akan menimbulkan masalah pula. Karena itu dalam menentukan waktu pemesanan bahan mentah perlu diperhatikan faktor LEAD TIME. Setelah sitentukan faktor lead time, maka dapat ditentukan REORDER POINT.
Untuk merencanakan saat pemesanan bahan mentah pada periode mendatang, perlu diperhatikan faktor-faktor :
1.      lead time yang terjadi pada pemesanan-pemesanan sebelumnya (data historis)
2.      extra-carrying cost
3.      stock out cost
Dalam melakukan pengamatan data historis, harus dilakukan terhadap beberapa data, untuk kemudian dihitung probabilitasnya dari total pengamatan.




Bentuk dasar anggaran pembelian bahan mentah

            Telah diuraikan di muka bahwa anggaran pembelian bahan mentah dapat disusun apabila total kebutuhan bahan mentah untuk suatu periode telah ditentukan, dengan perhitungan sebagai berikut.

Persediaan akhir...................................................XX
Kebutuhan bahan mentah....................................XX +
Jumlah kebutuhan................................................XX
Persediaan awal...................................................XX _
Pembelian bahan mentah.....................................XX

Dalam anggaran pembelian bahan mentah dicantumkan
a.       jenis bahan mentah yang digunakan dalam proses produksi
b.      jumlah yang harus dibeli
c.       harga per satuan bahan mentah

            Dengan mencantumkan harga per satuan bahan mentah, maka dapat dihitung jumlah uang yang akan dikeluarkan oleh perusahaan untuk pembelian bahan mentah.



   III.            ANGGARAN PERSEDIAAN BAHAN MENTAH

            Dalam penyusunan anggaran kebutuhan bahan mentah dan anggaran pembelian bahan mentah di muka, tampak bahwa masalah nilai persediaan awal dan persediaan akhir bahan mentah selalu diperhitungkan.
Setiap perusahaan dapat mempunyai kebijaksanaan dalam menilai persediaan yang berbeda. Tetapi pada dasarnya kebijaksanaan tentang penilaian persediaan dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Kebijaksanaan FIFO (First In First Out).
  2. Kebijaksanaan LIFO (Last In First Out).

            Dalam kebijaksanaan FIFO, bahan mentah yang lebih dahulu digunakan untuk produksi adalah bahan mentah yang lebih dahulu masuk di gudang, sehingga sering pula diterjemahkan ”pertama masuk pertama keluar”. Dengan kata lain, penilaian bahan mentah di gudang nilainya diurutkan menurut urutan waktu pembeliannya. Sebaliknya dalam kebijaksanaan LIFO, harga bahan mentah yang masuk ke gudang lebih akhir justru dipakai untuk menentukan nilai bahan mentah yang digunakan dalam produksi, meskipun pemakaian fisik tetap diurutkan menurut urutan pemasukannya.

            Perlu ditetapkan terlebih dahulu oleh perusahaan, kebijaksanaan mana yang dipilih. Hal ini penting dalam rangka penyusunan anggaran persediaan bahan mentah dan anggaran biaya bahan mentah yang habis digunakan, karena adanya faktor perbedaan harga dari waktu ke waktu. Harga bahan mentah mungkin berbeda dari waktu ke waktu, dan ini perlu diperhatikan karena nilai bahan mentah yang ada di dalam gudang dan yang dipakai untuk produksi juga berbeda dari waktu ke waktu. Karena itu harus diperhitungkan, apakah bahan mentah digunakan secara FIFO atau LIFO.

            Besarnya bahan mentah yang harus tersedia untuk kelancaran proses produksi tergantung pada beberapa faktor, seperti :
1.      Volume produksi selama satu periode waktu tertentu (ini dapat dilihat dalam Anggaran produksi)
2.      Volume bahan mentah minimal, yang disebut safety stock (persedian besi)
3.      Besarnya pembelian yang ekomomis
4.      Estimasi tentang naik turunnya harga bahan mentah pada waktu-waktu mendatang
5.      Biaya-biaya penyimpanan dan pemeliharaan bahan mentah
6.      Tingkat kecepatan bahan mentah menjadi rusak

Persediaan Besi
Persediaan besi adalah persediaan minimal bahan mentah yang harus dipertahankan untuk menjamin kelangsungan proses produksi. Besarnya persediaan bahan besi ditentukan oleh berbagai faktor yakni :
1.      Kebiasaan leveransir menyerahkan bahan mentah yang dipesan, apakah selalu tepat waktunya atau tidak.
2.      Jumlah bahan mentah yang dibeli setiap kali pemesanan
3.      Dapat diperkirakan atau tidaknya kebutuhan bahan mentah secara tepat
4.      Perbandingan antara biaya penyimpanan bahan mentah dan biaya ekstra karena kehabisan bahan mentah

Bentuk Dasar Anggaran Persediaan Bahan Mentah
Dalam anggaran persediaan bahan mentah perlu diperincikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Jenis bahan mentah yang digunakan
2.      Jumlah masing-masing jenis bahan mentah yang tersisa sebagai persediaan
3.      Harga per unit masing-masing jenis bahan mentah
4.      Nilai bahan mentah yang disimpan sebagai persediaan



   IV.            ANGGARAN BIAYA BAHAN MENTAH YANG HABIS DIGUNAKAN

            Tidak semua bahan mentah yang tersedia akan habis digunakan untuk produksi. Hal ini disebabkan karena dua hal, yakni:
  1. Perlu adanya persediaan akhir, yang akan menjadi persediaan awal periode berikutnya.
  2. Perlu adanya persediaan besi agar kelangsungan produksi tidak terganggu akibat kehabisan bahan mentah.

            Bahan mentah yang telah habis digunakan dalam proses produksi harus dihitung nilainya. Rencana besarnya nilai bahan mentah yang habis digunakan dalam proses produksi dituangkan dalam suatu anggaran tersendiri di sebut anggaran biaya bahan mentah yang habis digunakan.
Manfaat disusunnya anggaran biaya bahan mentah yang habis digunakan antara lain adalah:
  1. Untuk keperluan Product Costing, yakni perhitungan harga pokok barang yang dihasilkan perusahaan.
  2. Untuk keperluan pengawasan penggunaan bahan mentah.

Bentuk Dasar Anggaran Biaya Bahan Mentah yang Habis Digunakan
Dalam anggaran ini standart penggunaan bahan mentah masi diperhatikan, tetapi tidak dicantumkan lagi karena sudah dicantumkan pada Anggaran Kebutuhan Bahan Mentah. Anggaran biaya bahan mentah yang habis digunakan perlu memperinci hal-hal :
1.      Jenis bahan mentah yang diguanakan
2.      Jumlah masing-masing jenis bahan mentah yang habis digunakan untuk produksi
3.      Harga per unit masing-masing jenis bahan mentah
4.      Nilai masing-masing bahan mentah yang habis digunakan untuk produksi
5.      Jenis barang yang (dihasilkan dan) menggunakan bahan mentah
6.      Waktu penggunaan bahan mentah
Fungsi Perencanaan, Koordinasi, dan Pengawasan pada Anggaran-Anggaran Bahan Mentah
Seperti halnya anggaran produksi, anggaran kebutuhan barang mentah, persediaan bahan mentah dan pembeliaan bahan mentah merupakan alat perencana bagi perusahaan. Dalam anggaran-anggaran tersebut secara terperinci dibuat rencana tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan bahan mentah pada waktu mendatang.
Dilain pihak anggaran bahan mentah berfungsi sebagai alat pengkoordinasian kebutuhan bahan mentah dengan tingkat persediaan dan kebutuhan bahan mentah. Koordinasi antara tiga faktor ini sangat perlu diperhatikan agar tidak menghambat kelancaran produksi. Anggaran bahan mentah berfungsi pula sebagai alat pengawasan. Sebagai pelengkap fungsi pengawasan maka disusun laporan pengawasan, yang menunjukan perbandingan antara rencana dengan realisasi daripada pembelian bahan mentah dan penggunaan bahan mentah.
1.      Laporan Pelaksanaan Tentang Pembelian Bahan Mentah
Laporan ini digunakan sebagai alat untuk mengetahui perbandingan dan penyimpangan yang terjadi.
2.      Laporan Pelaksanaan Tentang Pemakaian Bahan Mentah

Disini dilihat perbandingan antara rencana dan realisasi penggunaan bahan mentah.